BUKU-BUKU TERLARIS & TERBARU
Budaya Timur dalam Fisika Modern
Judul: Jalan Paradoks - Visi Baru Fritjof Capra tentang Kearifan dan Kehidupan Modern
Penyunting: Budhy Munawar-Rachman & Eko Wijayanto
Penerbit: Teraju & Centre for Spirituality and Leadership
Cetakan: I, Juli 2004
Tebal: ix+219 halaman
Fritjof Capra, seorang ahli fisika, menawarkan arah baru dengan pendekatannya yang berpijak pada pemikiran Timur, terutama Taoisme yang cenderung intuitif, meninggalkan aturan ketat, dan menyeluruh. Ini seirama dengan pergeseran dari fisika klasik Newton-yang menganggap semua benda adalah partikel-ke arah fisika kuantum yang melihat adanya unsur partikel dan gelombang. Bila fisika klasik mempunyai ciri parsial, mekanistik, terukur, dapat diprediksi, fisika kuantum mengandung ketidakpastian dan probabilitas.
Paul Suparno, salah satu penulis dalam publikasi ini, mengemukakan perubahan paling menonjol dari perubahan pendekatan fisika tersebut adalah kesadaran untuk berpikir secara holistik, menyeluruh dan utuh, guna memahami manusia dan alamnya. Ditunjukkannya fenomena Capra dalam dunia pendidikan, di mana pembelajaran tidak hanya menekankan pada sisi kognitif, tetapi juga menyentuh kecerdasan emosi, sosial, bahkan spiritual. Demikian juga pada bidang kesehatan, pengobatan berteknologi canggih dan metode alternatif berkembang berdampingan.
Penulis lain, Subur Wardojo, mencoba menerapkan konsep Capra pada dunia sastra melalui filosofi yin-yang, dua kutub ajaran Taoisme yang dilambangkan dengan warna hitam dan putih yang hidup berdampingan secara serasi. Penulis menggagas sains dan sastra hendaknya tidak dipandang sebagai berlawanan, namun berhubungan dan saling melengkapi.
Buku ini mewadahi diskusi pemikiran Capra menurut sembilan penulis dari berbagai disiplin ilmu. Kajiannya mencakup upaya penciptaan kesadaran terhadap lingkungan, feminisme, filsafat Jawa, sampai mistisisme pada dunia ilmiah modern. (THA/Litbang Kompas)
Kisah Ramayana dan Musnahnya Pengetahuan
Judul: Kitab Omong Kosong
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I, Juli 2004
Tebal: vii+623 halaman
Harga: Rp 69.000
Kejahatan tidak akan pernah mati, demikian pula kebaikan, akan selalu hidup untuk memerangi kejahatan. Perseteruan dua kubu tersebut melatarbelakangi cerita dalam buku ini. Awalnya dituturkan kisah Ramayana, di mana Rama berhasil mengalahkan Rahwana, namun tidak mampu memusnahkannya. Rahwana terus menebarkan kedengkian dan keserakahan kepada umat manusia melalui gelembung-gelembung kejahatan yang dikeluarkannya. Tidak terkecuali kepada Rama, raja yang dikenal bijaksana ini. Sinta, yang tengah hamil muda, dituduhnya tidak setia dan berselingkuh dengan Rahwana. Akibatnya, Sinta memilih lari dari Kerajaan Ayodya.
Rama juga mengerahkan pasukannya untuk membinasakan setiap kerajaan yang membantah tunduk pada kekuasaannya. Pasukan Ayodya tidak hanya membunuh manusia, tetapi juga menghancurkan perpustakaan, memusnahkan kebudayaan, dan menghapus semua ilmu pengetahuan dari ingatan manusia. Hanya Lawa dan Kusa, dua anak Sinta, yang berhasil menghentikan kekejaman pasukan Ayodya.
Selanjutnya, diceritakan tokoh Satya dan Maneka, korban dari kekejaman perang itu. Kepada merekalah tertumpu harapan untuk menemukan kembali kitab omong kosong, kitab yang berisi dasar-dasar pengetahuan kunci penalaran bagi semua ilmu pengetahuan. Kitab ini diperebutkan juga oleh pihak-pihak yang ingin agar manusia tetap hidup dalam kegelapan. Untuk mendapatkan kitab ini, Satya dan Maneka harus pergi ke Gunung Kendalisada, tempat kelima bagian kitab tersebut disimpan. Hanya, tak seorang pun tahu di mana Gunung Kalisada itu berada. (LAZ/Litbang Kompas)
Polemik tentang Kesusastraan Indonesia
Judul: Krisis Daya Cipta Indonesia: Polemik Soedjatmoko Versus Boejoeng Saleh
Penyunting: M Nursam
Penerbit: Ombak
Cetakan: I, Agustus 2004
Tebal: xxxviii+114 halaman
Harga: Rp. 27.000
Tidak selamanya perbedaan pandangan berujung pada pertikaian. Soedjatmoko dan Boejoeng Saleh menjadi salah satu contoh. Polemik dalam pemikiran mengenai krisis kesusastraan Indonesia di awal 1950-an mengantarkan keduanya dalam benturan gagasan yang menggairahkan dan konstruktif tanpa diselesaikan secara politis dan direduksi secara ideologis. Buku ini menyajikan dinamika polemik tersebut secara rinci.
Mulanya, Soedjatmoko, pendiri majalah politik dan kebudayaan Siasat (1947), melayangkan tulisan berjudul "Mengapa Konfrontasi?" di majalah Siasat. Tokoh intelektual Indonesia yang pernah menjabat Rektor Universitas PBB di Tokyo ini mengemukakan terjadinya krisis dalam kesusastraan Indonesia. Tulisan yang merupakan hasil pemikiran dalam kelompok Diskusi Konfrontasi itu memicu perdebatan di kalangan budayawan dan intelektual pertengahan tahun 1950-an. Boejoeng Saleh, yang juga dikenal dengan nama SI Peeradisastra, mantan redaktur majalah Kebudayaan Indonesia (1953-1958), menanggapi tulisan Soedjatmoko melalui "Kewajiban yang Tak Boleh Ditunda" di majalah yang sama. Boejoeng Saleh menyatakan tidak ada krisis kesusastraan ataupun kebudayaan. Memajukan kesusastraan harus dengan meniadakan krisis ekonomi, politik, dan sosial. Jarak antara kebutuhan obyektif rakyat dan kenyataan harus ditiadakan. Revolusi nasional demokratis juga harus dikendalikan. Polemik berlanjut dengan tulisan Soedjatmoko berikutnya adalah "Surat Terbuka I" dan "Surat Terbuka II". Boejoeng Saleh pun menjawab dengan tulisan selanjutnya "Latar Belakang Kesejarahan Krisis di Indonesia" dan "Kaum Terpelajar Indonesia dan Perjuangan Bangsanya". (SHS/Litbang Kompas)
Pendaratan Manusia di Bulan: Fakta atau Rekayasa?
Judul: Manusia Tidak Pernah Mendarat di Bulan?
Penulis: Sony Set dan Andra Nuryadi
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Cetakan: I, 2004
Tebal: viii+155 halaman
Harga: Rp 19.000
Sejarah pendaratan manusia di Bulan dimulai tahun 1957 ketika Rusia (Uni Soviet) berhasil menerbangkan Sputnik, dan pada tahun 1961 Yuri Gagarin dinobatkan menjadi manusia pertama yang mengudara di atas orbit Bumi menggunakan pesawat Vostok I. Sejarah pun mencatat kesuksesan Uni Soviet menggapai ruang angkasa. Merasa ketinggalan satu langkah, pada tahun 1961 Presiden Amerika Serikat John F Kennedy mengumumkan program Apollo dengan tujuan mendaratkan manusia di Bulan. Pada tahun 1969, Apollo 11 dikabarkan mendarat di Bulan. Neil Armstrong dan Edwin "Buzz" Aldrin kemudian dikukuhkan menjadi astronot pertama yang menjelajahi permukaan Bulan. Masyarakat internasional tercengang atas prestasi yang dicapai NASA. Program ini dilanjutkan dengan pendaratan Apollo 12,14,15,16 dan terakhir Apollo 17 pada tahun 1972. Lebih dari tiga puluh tahun kemudian belum tersiar lagi berita pendaratan manusia di Bulan.
"Mengapa NASA tidak sanggup lagi mengirimkan manusia ke Bulan?" Atas pertanyaan tersebut, kemudian berkembang wacana bertitik tolak pada teori konspirasi yang mencoba memutarbalikkan kisah sukses tersebut. Sejumlah teori dan fakta pendukung, seperti kejanggalan latar belakang fotografi, diungkapkan sehingga menimbulkan silang pendapat. Tulisan dalam buku ini dimaksudkan sebagai pembuka cakrawala baru akan berbagai misteri yang menyelubungi proyek Apollo. Membaca buku ini membuat kita diliputi rasa penasaran dan turut bertanya, "Benarkah ada manusia yang pernah mendarat di Bulan?" (DEW/Litbang Kompas)
Manajemen Komunikasi Kepresidenan
Judul: Centang-Perenang Manajemen Komunikasi Kepresidenan dari Soekarno sampai Megawati
Penulis: Rendro Dhani
Penerbit: LP3ES
Cetakan: I, 2004
Tebal: xxviii+255 halaman
Harga: Rp 55.000
Setiap presiden memiliki gaya dan strategi komunikasi yang berbeda meskipun kadang mereka menjalankan sistem manajemen media yang serupa. Contohnya gaya komunikasi Soekarno dan Soeharto. Soekarno senantiasa tampil berwibawa, penuh semangat, dan atraktif. Sementara Soeharto lebih menunjukkan gaya komunikasi yang tenang dengan penampilan bersahaja tanpa meninggalkan kewibawaannya. Walau berbeda gaya, keduanya menerapkan sistem manajemen media yang mirip. Mereka cenderung membelenggu pers, menuntut media mendukung kebijakannya, dan tidak segan menerapkan sanksi untuk media yang dianggapnya berseberangan dengan pemerintah.
Habibie dikatakan berhasil meniupkan fenomena baru dalam sistem komunikasi politiknya, namun sistem manajemen yang diterapkan tak berbeda dari kedua pendahulunya. Abdurrahman Wahid mempunyai gaya komunikasi yang lain. Gus Dur sering melontarkan pernyataan atau informasi secara spontan yang sering kali mengganggu kelancaran pemerintahannya. Penulis pun menyimpulkan, Gus Dur tidak mempunyai manajemen komunikasi. Megawati Soekarnoputri menjadikan diam sebagai bagian dari komunikasinya walaupun pada awal pemerintahannya telah mencoba untuk menata informasi dan komunikasi di lingkungan kepresidenan
Dalam buku ini, kecuali mengkaji manajemen komunikasi kelima presiden Indonesia, penulis juga mengetengahkan berbagai strategi manajemen komunikasi kepresidenan modern. Di sini diperlihatkan faktor-faktor yang memengaruhi tercapainya manajemen komunikasi yang efektif, perkembangan organisasi kepresidenan dan strategi manajemen komunikasinya, serta peranan media massa dalam manajemen komunikasi. (RPS/Litbang Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar